Sabtu, 15 Januari 2011

KECERDASAN RUHANIAH ( TRANSCENDENTAL INTELLIGENCE)


A.    Takwa Indikator Kecerdasan Ruhaniah
Kata  takwa telah   menjadi  hiasan dalam retorika dan ungkapan manis bahan ceramah. Bahkan, ketika pengambilan sumpah jabatan diselipkan pula persyaratan untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tentu saja ini sangat bagus untuk mengingatkan dan sekaligus mendorong sikap hidup yang bertakwa.
Dalam terjemahan  Abdullah Yusuf Ali, yaitu The Meaning of The Holy Qur’an, kata takwa Baqarah ayat 2, ia menerjmahkannya dengan kalimat to those who fear Allah untuk mereka yang takut kepada Allah.
Takwa  merupakan bentuk rasa tanggung jawab yang dilaksanakan dengan penuh rasa cinta dan menunjukan amal prestatif di bawah semangat pengharapan ridho Allah. Tanggung jawab itu sendiri adalah menaggung dan memberi jawaban, sebagimana di dalam bahasa inggris, kita mengenal kata responsibility, yakni able  to respond. Dengan demikian, pengertian takwa yang dapat ditafsirkan sebagai “tindakan  bertanggung jawab “ (yang ternyata lebih mendalam dari responsibility) dapat didefinisikan sebagai “sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan penuh rasa cinta ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan amal saleh”.
Seorang yang cerdas secara ruhaniah itu akan menunjukkan rasa tanggung jawabnya yang terus menerus berorientasi pada kebajikan atau amal prestatif (achievements orientation), sebagaimana firman allah SWT,  :
“ Apabila merka senantiasa bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap brtanggung jawab dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertanggung jawab dan berbuat kebajikan”.(A-Maidah:93)
Dari ayat diatas, tampak dengan jelas keterkaitan antara takwa (sikap tanggung jawab), iman (prinsip), dan amal saleh yang merupakan indikasi kecerdasan ruhaniah.
Kecerdasan ruahaniah itu sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip lalu bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya itu dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesesuaian(saleh). Prinsip merupakan hal fitrah yang paling mendasar bagi harga diri manusia. Nilai takwa atau tanggung jawab merupakan cirri seorang professional . Mereka yang melanggar prinsip dan menodai hati nurani merupakan dosa kemanusiaan yang paling ironis, sebagaimana Mahatma Gandhi membuat daftar tujuh dosa orang yang menodai prinsip atau nuraninya tersebut sbb:
1.      Kekayaan tanpa kerja (wealth without work)
2.      Kenikmatan tanpa suara hati (pleasure without conscience)
3.      Pengetahuan tanpa karakter (knowledge without character)
4.      Perdagangan tanpa etika (moralitas) ( commerce without morality)
5.      Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan (science without humanity)
6.      Agama tanpa pengerbonanan (religion without sacrifice)
7.      Politik tanpa prinsip (politic without principle)
Tujuh dosa itu dapat saja  diteruskan  menjadi daftar yang lebih panjang. Misalnya, mengaku Islam tetapi tidak Islami, sikapnya dan membaca Al-Qur’an tetapi tidak Qur’ani. Begitu juga dengan agama-agamayang lain. Selama agama sekedar symbol budaya tanpa memberikan kontribusi yang nyata bagi kemanusiaan, niscya nurani mereka buta dan terperangkap dalam ilah baru, yaitu baertuhankan agama. Tidak shalat dan tidak berbuat kebaikan, tetapi bila agamanya disinggung mereka berani mati untuk agamanya.
Kelihatannya mereka cerdas secara ruhani, padahal mereka hanya menghafalkan teks kitab suci tanpa sedikitpun mempraktekannya sebagai keteladanan. Mereka terperangkap dalam pendewaan agama. Tuhan tidak lagi dipuja melebihi agamanya. Mereka memuja agama melebihi Tuhannya.
Seseorang tidaklah disebutkan cerdas secara ruhani, bila hanya peduli dengan akhirat tetapi membutakan dirinya terhadap misinya di dunia. Tujuan hidup yang hakiki adalah menetapkan target yang tinggi terhadap pengharapan ke akhirat, tetapi dalam kesehariannya mereka menampakkan rasa tanggung jawab moralnya dalam mengarunginya  samudra dunia. Untuk meraih ketinggian hati nuraninya, hanya mungkin dibuktikan dalam kehidupannya secara nyata dengan dunia.
Bahkan. Mereka menyadari posisi dirinya sebagai kholifah yang harus menundukkan dunia, bukan sebaliknya dirinya tertawan menjadi budak dunia. Mereka tidak ingin  dikasihi atau mengemis kepada dunia. Tetapi, dengan iman, ilmu, dan amal yang prestatif kuat, mereka justru menjadikan dunia mengemis kepadanya. Karena, seseorang yang hanya mempedulikan norma-norma akhirat tanpa bukti nyata dan keterlibatanya dalam urusan dunia, adalah para pemimpin yang buta.

KECENDERUNGAN DAN KETERLIBATAN
Dalam Dimensi Vertikal dan Horizontal

Habluminallah
Tinggi


 

                                                              BUTA                                   MUTTAQIN


 


                                                              KUFUR                               HEDONIS

Rendah                              DUNIA POWER, SULTHAN          Tinggi
                                                                                          Habluminannaasi

Diagram diatas memberikan pengertian sebagai berikut:
1.      Buta adalah memberikan tipe manusia yang hanya mempedulikan atau menyibukkan  diri dengan  urusan ritual  (pada skala tinggi), tetapi kepedulian dan aktualisasinya terhadap dunia sangat rendah, sehingga nurani mereka terhadap persoalan yang berkaitan dengan kemasyarakatan maupun ekologi cenderung terlepas dari perhatian dirinya. Mereka beragama tetapi tidak  mau berkorban, “religion without sacrifice” sebagaimana dikatakan Mahatma Gandhi.
Kepedulian atau keterlibatannya yang hanya terfokus pada daerah habluminallah tanpa sedikitpun bertanggung jawab terhadap masalah keduniaan, dapat menimbulkan dorongan atau kecenderungan pada fanatisme yang sempit. Mereka terpuruk dalam abstraksi yang fanatic dan kemudian menutup diri dari segala gagasan, saran, dan kerja sama yang mengajak dirinya terlibat dalam hal kemasyarakatan.
2.      Kufur adalah tipe manusia yang kepedulian dan keterlibatannya pada urusan dunia dan akhirat sangat rendah. Mereka mudah terprovokasi, betindak agresif, dan larut dalam suasana massa. Mereka bagaikan “zombie”, mayat hidup yang hanya memenuhi hiruk-piruk dunia, tetapi tidak memberikan makna terhadap misi kehidupan diri dan orang lain. Ke dalam tak mengganjilkan, keluar tak menggenapkan. Ada dan tiadanya sama saja tidak memberikan pengaruh (wujuduhu kaadamihi). Hati mereka sunnguh mempunyai penyakit, bahkan telah terkunci sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Umron ayat 7.
3.      Hedonis adalah tipe manusia yng mempunyai ketelibatan dan kepedulian tingggi dalam hal duniawi. Mereka memiliki kekayaan secara materi, tetapi rendah secara moral, sehingga cenderung menjaditipe manusia yang haus akan kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan. Mungkin saja mereka cerdas secara intelektual, tetapi bodoh secara spiritual. Hidup hanya mengejar kesenangan atau kenikmatan yang sementara berjangka pendek, dan fana (hedonis). Lord Aton berkata, “Power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolute.”
4.      Muttaqin adalah tipe manusia yang deal, bertanggung jawab secara berkeseimbangan antara kepedulian dan keseimbangannya yang tinggi terhadap akhirat dan pencapaian amal prestatifnyadi dunia. Mereka selalu cenderung untuk berorientasi pada pencapaian prestasi  yang tetap konsisten menjadikan “akhirat” sebagai ultimate goal dengan cara membuktikannya secara actual dalam hubungannya dengan manusia dan alam.
Mereka adalah tipe manusia cerdas secara ruhani yang selalu mengarahkan sikap dan tindakannya secara berkeseimbangan, mengarah, dan berupaya sekuat tenaga untuk menjadi orang-orang yang bertanggung jawab (al-muttaqin).

B.     Qalbu Pusat Kecerdasan Ruhani
Sesungguhnya didalam jasad manusia ada mudhghah  (segumpal darah), apabila dia berfungsi denagn baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya itu. Katahuilah, mudhghah itu adalh Qalbu.
Pengertian Qalbu (bentuk masdar) dari qalaba yang artinya ‘berubah-ubah, berbolak-balik, tidak konsisten, berganti-ganti’. Pokoknya qalbu merupakan lokus atau tempat di dalam wahana jiwa manusia yang merupakan titik sentral atau awal segala awal yang menggerakkan perbuatan manusia yang cenderung kepada kebaikkan dan keburukkan. Qalbu juga merupakan shagafa atau hamparan yang menerima suara hati yang berasal dari ruh dan sering pula disebut dengan nurani (bersifat cahaya) yang menerangi atau memberikan arah pada manusia untuk bertindak dan bersikap berdasarkan keyakinan atau prinsip yang dimilikinya.
Rasa ruhaniah merupakan rasa yang paling fitrah, sebuah potensi yang secara hakiki ditiupkan kedalam tubuh manusian ruh kebenaran, yang selalu mengajak kepada kebenaran, yang selalu mengajak kepada kebenaran. Pada ruh tersebut terdapat potensi bertuhan. Nilai kehidupan yang hakiki, tidak lain berada pada nilai yang sangat luhur tersebut, apakah seseorang tetap setia pada hati nuraniya untuk mendengarkan kebenaran yang melangit (meng-ilahi, divinity) ataukah dia tersungkur menjadi orang yang hina karena seluruh potesinya telah terkubur dala kegelapan,
“kemudian, Dia menyempurnakan nya dan meniupkan kedalam (tubuh) nya roh  (ciptaan) Nya dan Dia menjadikan bagi kaum pendengaran, penglihatan, dan hati, akan tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (as-Sajdah:9)
Ayat ini memberikan isyarat bahwa manusia terlahir dengan dibekali kecerdasan yang terdiri dari lima bagian utama kecerdasan, yaitu sebagai berikut:
1.   Kecerdasan ruhaniah (spiritual intelligence) : kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya, baik buruk dan rasa moral dalam caranya menempatkan diri dalam pergulan.
2.      Kecerdasan intelektual : kemampuan seseorang dalam memainkan potensi logika, kemampuan berhitung, menganalisa dan matematik (logical-mathematical intelligence).
3.      Kecerdasan  emosional (emosional intelligence) : kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri (sabar) dan kemampuan dirinya untuk memahami irama, nada, music, serta nilai-nilai estatika.
4.      Kecerdasan social : kemampuan sesorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain, baik individu maupun kelompok. Dalam kecerdasan ini termasuk pula interpersonal, intra personal skill, dan kemampuan berkomunikasi (linguistic intelligence).
5.      Kecerdasan fisik (bodily-kinsthetic intelligence) : kemampuan seseorang dalam mengkoordinasikan dan maemainkan isyarat-isyarat tubuhnya.
Seluruh kecerdasan itu, harus berdiri di atas kecerdasan ruhaniah sehingga potensi yang dimilikinya menghantarkna diri kepada kemuliaan akhlakOval: Kecerdasan  Sosial.

1 komentar:

  1. assalamuallikum..!!!
    pak..! aku tertairk dgn tulisan bapak.. berhubung dgn tugas dr kampus tenteng tema "mewujudkan ilmu bernilai RObbani"..
    kira bpk pux saran,, kira2 buku2 apa saja yg bs mendukung utk membuat makalah di atas?

    dan utk artikel bapak sendiri itu, sumber referensix apa yah? makasih


    lisda

    BalasHapus