Sabtu, 15 Januari 2011

Perkembangan Studi Islam


Dalam dasawarsa terakhir, perkembangan studi keislaman (islamic studies) telah memberikan sumbangan teramat penting dalam rangka membumikan nilai-nilai pluralisme. Jika sebelumnya kita mengenal berbagai pendekatan studi agama yang bersifat monolitik-eksklusif, kini beragam pendekatan ditawarkan sebagai bahan sharing bagi penghayatan pengalaman keagamaan yang lebih pluralis-inklusif.
Studi poskolonial terhitung “barang baru” dalam jagat studi keislaman di tanah air. Bahkan masih terasa asing dan aneh bagi kalangan akademis kampus. Namun dikalangan minoritas intelektual muda Islam, studi poskolonial tampaknya mendapat respon yang begitu menggairahkan.
Salah satu intelektual muda, Ahmad Baso, penulis buku ini, menggarisbawahi sejarah hukum Islam yang masih dibayang-bayangi oleh hukum warisan kolonial Belanda. Kaum kolonial, sadar atau tidak, telah meninggalkan jejak yang teramat banyak di negara-negara bekas. Ahmad Baso mencoba menarik batas pada wilayah hukum Islam seraya masuk lebih jauh ke dalam produk perundang-undangan mengenai perkawinan dan kerukunan umat beragama. Hasilnya, undang-undang perkawinan dan undang-undang kerukunan umat beragama yang diterapkan oleh Departemen Agama selama ini sebagian besar merupakan warisan kolonialisme.
Perkembangan studi keislaman di Indonesia menurutnya penuh dengan relasi kuasa politis di balik praktik yang oleh Michel Foucault—si empu postmodernisme itu—dinamakan sebagai “pengetahuan”/“kuasa”. Kritik poskolonial yang digunakan Ahmad Baso di sini menawarkan solusi bagi keragaman teologis melalui paham “nikmat dalam perbedaan”.
Bahkan studi poskolonial berusaha untuk mengolah (ulang) kebudayaan heterogenitas dan hibriditas untuk dijadikan sederet panji-panji baru; sebentuk kegairahan perbedaan dalam nikmat perbedaan. Hegemoni dan homogenitas kolonial yang dipancangkan dalam studi-studi keislaman selama ini terus-menerus dipertanyakan, digugat. Dan konsensus pun harus segera diragukan. Kemudian kesalahpahaman ditampik sembari merayakan kesalingpahaman.
Studi poskolonial mendekati perbedaan keyakinan tidak melalui konsensus atau sekedar memperjelas kesalahpahaman yang telah terjadi. Studi agama dan dialog antar agama selama ini misalnya, hanya bertujuan menghilangkan konflik antar agama. Tetapi studi poskolonial lebih jauh mengembangkan sisi kemanusian.
Bila studi kolonialisme masih beranggapan bahwa bangsa jajahan tidak mempunyai kebudayaan sebagai ciri identitas mereka, dan ketika mereka mulai “mengakui” adanya kebudayaan khas kaum terjajah, mereka kembali melihat bahwa kebudayaan kaum terjajah lebih rendah dari kebudayaan kaum penjajah. Dari negasi total macam ini kemudian bergeser ke strategi kultural yang menempatkan kebudayaan bangsa-bangsa terjajah dalam suatu kerangka hirarkis model faham “kenisbian (relativitas) budaya”.
Apa yang dinamakan “nasionalisme” dan “regionalisme” Islam masa lalu tak lebih dari istilah-istilah yang sarat kepentingan, yang bersifat relatif, yang tergantung dari pandangan siapa dan dari sudut apa. Di suatu tempat terdapat nasionalisme yang dapat hidup berdampingan, yang tidak menjadi sandera sejarah, seperti nasionalisme humanis. Tapi di tempat yang lain terdapat nasionalisme yang selalu berusaha meniadakan nasionalisme yang lain, terutama nasionalisme yang sama dengan ekspansionisme atau rasialisme.
Alhasil, apa yang terjadi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan, menjadi titik kritik studi poskolonialisme. Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah Indonesia di kampus Mubarok Parung Bogor beberapa waktu lalu, sebagai contoh, tak terlepas dari diskursus penanaman (imposition discource) yang menjadi sasaran kritik studi poskolonial.
Warisan kultural yang diwasiatkan rezim kolonial di Indonesia ternyata membuat “yang Lain” harus tersingkir, tersubordinasi, dan dibuat tak bersuara, hanya karena mereka berbeda dengan “yang Mainstream”. Penjinakan atas “yang Lain” yang dianggap “sesat” kian diperparah oleh oposisi biner; agama resmi dan yang tidak resmi, yang lurus dan yang bengkok, yang benar dan yang sesat, dan seterusnya.
Dalam studi poskolonial, Ahmadiyah adalah kelompok yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok subaltern; sebagai satu kelompok yang mencoba merespon resistensi kekuasaan dari pinggiran. Namun kelompok subaltern ini masih seringkali dianggap sebagai “agama kelas dua” dan karenanya dianggap “sesat” dan menjadi musuh bersama yang pantas didemo dan dilarang. Bahkan stigma dan diskriminasi yang dikampanyekan secara sistematis dan terencana lewat penanaman diskursus pengetahuan “anti-Ahmadiyah” lewat penyebarluasan buku-buku dan fatwa-fatwa oleh kelompok-kelompok Islam lainnya, dari hari ke hari tampak mengarah pada tujuan “pemusnahan massal” identitas keberagamaan dan keragaman “yang Lain”.
Kenyataan ini berpeluang menjadi apa yang oleh Ahmad Baso dinamakan sebagai “polisi kolonial” yang bertugas memenjarakan “pengetahuan yang Lain” yang biasanya berselingkuh dengan “Kejaksaan Agung” dan rejim resmi yang memvonis salah “yang Lain”.
Sudah banyak “polisi-polisi kolonial” yang dibentuk di negeri ini agar kaum subaltern macam Ahmadiyah tak diberi hak bersuara yang bebas. Kejaksaan Agung diam-diam dibentuk untuk menjadi polisi yang bertugas mengawasi setiap ajaran agama yang “menyimpang”.
Sampai sekarang kita masih terus bertanya tujuan dibentuknya lembaga Kejaksaan Agung di negeri ini. Apakah untuk memberikan vonis sesat terhadap sekte-sekte semacam Ahmadiyah? Atau untuk mengharamkan pencatatan perkawinan kalangan penghayat kepercayaan? Hingga kini masih ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung masih tetap menjalankan tugas sebagai “Pengadilan Agama” yang berwenang menghukum siapa saja yang dianggap “keluar” dari keyakinan agama resmi.
Selain distigmatisasi, distreotipkan, dan dijinakkan, kalangan subaltern tak diberi kebebasan untuk bersuara dan mengaktualisasikan ajaran mereka ke tengah panggung politik dan sosial secara bebas. Penggunaan cara-cara kekuasaan, di samping diskriminasi dan penjinakan lewat pengetahuan, terbukti tidak pernah berhasil melahirkan sebuah solusi. Bahkan cara-cara demikian akan merugikan identitas internal agama itu sendiri.
Alhasil, apa yang terjadi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan, menjadi titik kritik studi poskolonialisme. Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah Indonesia di kampus Mubarok Parung Bogor beberapa waktu lalu, sebagai contoh, tak terlepas dari diskursus penanaman (imposition discource) yang menjadi sasaran kritik studi poskolonial.
Warisan kultural yang diwasiatkan rezim kolonial di Indonesia ternyata membuat “yang Lain” harus tersingkir, tersubordinasi, dan dibuat tak bersuara, hanya karena mereka berbeda dengan “yang Mainstream”. Penjinakan atas “yang Lain” yang dianggap “sesat” kian diperparah oleh oposisi biner; agama resmi dan yang tidak resmi, yang lurus dan yang bengkok, yang benar dan yang sesat, dan seterusnya.
Dalam studi poskolonial, Ahmadiyah adalah kelompok yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok subaltern; sebagai satu kelompok yang mencoba merespon resistensi kekuasaan dari pinggiran. Namun kelompok subaltern ini masih seringkali dianggap sebagai “agama kelas dua” dan karenanya dianggap “sesat” dan menjadi musuh bersama yang pantas didemo dan dilarang. Bahkan stigma dan diskriminasi yang dikampanyekan secara sistematis dan terencana lewat penanaman diskursus pengetahuan “anti-Ahmadiyah” lewat penyebarluasan buku-buku dan fatwa-fatwa oleh kelompok-kelompok Islam lainnya, dari hari ke hari tampak mengarah pada tujuan “pemusnahan massal” identitas keberagamaan dan keragaman “yang Lain”.
Kenyataan ini berpeluang menjadi apa yang oleh Ahmad Baso dinamakan sebagai “polisi kolonial” yang bertugas memenjarakan “pengetahuan yang Lain” yang biasanya berselingkuh dengan “Kejaksaan Agung” dan rejim resmi yang memvonis salah “yang Lain”.
Sudah banyak “polisi-polisi kolonial” yang dibentuk di negeri ini agar kaum subaltern macam Ahmadiyah tak diberi hak bersuara yang bebas. Kejaksaan Agung diam-diam dibentuk untuk menjadi polisi yang bertugas mengawasi setiap ajaran agama yang “menyimpang”.
Sampai sekarang kita masih terus bertanya tujuan dibentuknya lembaga Kejaksaan Agung di negeri ini. Apakah untuk memberikan vonis sesat terhadap sekte-sekte semacam Ahmadiyah? Atau untuk mengharamkan pencatatan perkawinan kalangan penghayat kepercayaan? Hingga kini masih ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung masih tetap menjalankan tugas sebagai “Pengadilan Agama” yang berwenang menghukum siapa saja yang dianggap “keluar” dari keyakinan agama resmi.
Selain distigmatisasi, distreotipkan, dan dijinakkan, kalangan subaltern tak diberi kebebasan untuk bersuara dan mengaktualisasikan ajaran mereka ke tengah panggung politik dan sosial secara bebas. Penggunaan cara-cara kekuasaan, di samping diskriminasi dan penjinakan lewat pengetahuan, terbukti tidak pernah berhasil melahirkan sebuah solusi. Bahkan cara-cara demikian akan merugikan identitas internal agama itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar