Sabtu, 15 Januari 2011

Pendekatan Antropologi


PENDAHULUAN

Fenomena agama adalah  fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan social telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting, karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan social dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa  keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat  dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-Bersilaturahmi kepada yang lebih tua adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

 PENDEKATAN ANTROPOLOGI
 
A.    Pengertian Antropologi
Antropologi adalah studi tentang manusia dalam semua aspek meskipun sebagian besar antropologi telah menulis seolah-olah mereka mampu, secara keseluruhan antropologi sosial telah mengkonsentrasikan dirinya mempelajari manusia dalam aspek sosialnya, yakni berhubungan dengan orang lain dengan masyarakat yang hidup. Tentu saja antropologi terterik kepada manusia kareana meraka adalah bahan mentah dimana dia bekerja sebagai seorang antropologi sosial, perhatian utamanya adalah dengan apa manusia ini berbagi dengan yang lainnya. Mereka mengkonsentrasikan diri mereka utamanya terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan dan secara relatif mempertahankan ciri-ciri masyarakat dimana mereka terjadi.
B.     Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengalaman agama yang sesuai dengan konteks budaya sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala prilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholis Majid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai “khalifah” (wakil Tuhan) di bumi. Misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mistical event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang bisa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementara itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi diluar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagaman adalah terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberadaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.
Pandangan trikotonomi Geertz tentang pengelompokan masyrakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengelompokan masyrakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masyarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Jika kembali pada persolan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan kedalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan prilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (Web) kepentingan yag mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berprilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya.
C.    Tradisi Antropologi Dalam Kajian Agama : Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial.
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke-16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil karya intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama kedalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, hadits, ilmu fikih dan ilmu ushul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
D.    Agama Sebagai Fenomena Universal
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat tradisional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama  dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Disini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia termasuk didalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Disini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam prilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas emiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.
E.     Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion as a Cultural System,” dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai : “A System of symbols which acts to establish powerfull, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.”
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat di kategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada suatu sisi ia merupakan modes for reality dan disisi lainnya ia merupakan modes of reality.  Yang pertama menunjukan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan prilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam suatu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji  dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.






 KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk  melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang animisme menuju monoteisme.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia. Pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Disinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai Ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.
B.     Saran
Penulis sadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan ataupun dalam tulisannya, sehingga makalah ini menjadi lebih jauh pada tingkat kesempurnaan. Penulis harapkan kritik dan sarannya untuk menyempurnakan segala kekurangan dalam makalah ini atau agar menjadi cerminan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.

























DAFTAR PUSTAKA

Sahrodi, Jamali. Metodologi Study Islam, Bandung : Pustaka Setia
Suprayogo, Imam, Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung : Rosda Karya
Utsman, M.Basyirudin. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta : Ciputat Pers
Conroly, Peter. 2002. Aneka Pendekatan Study Agama. Yogyakarta : LK;S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar